Terjerat Utang Riba Bank Plecit (1)
kisah tahun 2017 silam
Part 1
Kini aku resmi pindah ke rumah kontrakan bersama suami dan
anakku yang berusia 1 tahun 8 bulan. Harus memantapkan hati terlebih dahulu untuk
bisa pindah dari rumah mertua. Sebenarnya tidak jadi soal bagiku, sebab sebelum
menikah pun aku sudah sering berpindah-pindah tempat indekos seorang diri. Jadi
aku memang sudah terbiasa hidup mandiri. Hanya saja aku memikirkan jagoanku
yang masih menyusu ini.
Anak laki-lakiku termasuk batita yang susah makannya. Sebelum
benar-benar pindah ke rumah kontrakan, aku harus memastikan adanya penjual
makanan di sekitar rumah tersebut. Supaya tidak kebingungan memikirkan menu
makan sehari-hari untuk jagoanku. Sebab terkadang aku tidak sempat memasak, dan
anakku hanya doyan makan sayuran yang berkuah saja. Untuk lauk makan, lebih
gampang menyediakannya.
Namun dengan berat hati aku dan suami memutuskan pindah dari
rumah mertua. Bukan tanpa alasan. Semua berawal dari keterlibatan Ibu mertua
dalam utang piutang dengan rentenir pada akhir tahun 2016. Ibu mertuaku yang akrab dipanggil Emak,
sudah memiliki tempat semi permanen yang merupakan pemberian desa kami untuk
digunakan berjualan soto. Kios kecil-kecilan itu terletak di samping bangunan
balai desa yang baru. Terdapat beberapa kios yang juga ditempati oleh para pedagang
makanan yang berasal dari desa kami.
Enak menjual menu utama soto ayam dan soto sapi, ditambah
barang lain seperti rokok, es teh, mie cup, dan lainnya. Awalnya pada empat tahun
pertama berjualan soto, masih mulus tak ada masalah, sampai Emak kedatangan
seorang ibu pemilik usaha laundri dari desa sebelah yang menitipkan uang kepada
Emak. Uang yang dititipkan itu untuk dibayarkan kepada bank plecit, begitu kami
menyebutnya. Bank plecit merupakan istilah untuk orang dari koperasi simpan
pinjam yang datang menagih utang ke debitur.
Setiap hari, Emak membayarkan uang titipan itu ke bank
plecit. Emak mendapat sedikit komisi dari Ibu pemilik laundri itu sebagai
imbalan karena sudah bersedia dimintai tolong dititipi uang tersebut. Lama
kelamaan, Ibu pemilik laundri itu pun menitipkan uang juga kepada Bude Sri,
tetangga sebelah Emak yang merupakan kerabat kami. Bude Sri berjualan kelontong
dan gorengan di teras rumahnya. Karena setiap hari berinteraksi dengan bank
plecit, Bude Sri dan Emak pun ikut-ikutan terjerat utang riba pada bank plecit.
Seharusnya jika kekurangan modal untuk jualan soto, Emak
bisa minta uang kepadaku dan suamiku. Namun, Emak malah berurusan dengan bank
plecit dan dikenai bunga tinggi. Mulailah mereka berdua kewalahan dalam
membayar utang kepada rentenir alias bank plecit. Modal dan keuntungan jualan
soto Emak sampai habis tak ada sisa. Bila sudah tak memegang uang sama sekali,
Emak meminta uang kepadaku untuk membayar utang-utang tersebut.
Hampir setiap hari Emak minta uang dariku untuk membayar
rentenir. Aku tak pernah menolaknya karena merasa tidak enak pada Emak, dan Emak
pun menjanjikan akan mengembalikannya padaku. Namun, janji Emak hanya bohong
belaka. Kenyataannya utang makin menumpuk dan Emak tak sanggup membayar. Sering
kali Bude Sri dan Emak mengambil utangan rentenir berdua kemudian dibagi dua,
dan pembayarannya pun ditanggung mereka berdua.
Terkadang suamiku menyalahkanku yang begitu mudahnya memberi
uang pada Emak untuk rentenir. Sebab seharusnya uang itu akan digunakan untuk
membeli keperluan anak kami, tetapi malah diberikan kepada rentenir yang tak
ada habisnya. Sudah sering suamiku melunasi utang Emak pada satu orang
rentenir, berharap Emak tak mengambil utang lagi.
Namun kenyataannya, Emak malah mengambil utang lagi pada
rentenir yang sudah dilunasi tersebut. Tentu saja lama kelamaan suamiku kecewa
dan jengkel dengan perilaku Emak yang terus menerus mengambil utang. Ibarat
gali lubang tutup lubang, itulah yang akhirnya dilakukan Emak. Uang dari
suamiku sudah terhitung hampir lima belas juta rupiah yang digunakan untuk
membayar utang Emak. Ah kami tak habis pikir mengapa bisa masalahnya jadi
runyam seperti ini.
Komentar
Posting Komentar